Penerjemah

Cari

Sabtu, 07 Juli 2018

AMARAH; DIPERBOLEHKAN & DILARANG.



Amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:

1. Tingkatan kewajaran, yaitu amarah yang ditujukan untuk membela diri, agama, kehormatan, harta, membela hak-hak yang umum dan menolong orang yang dizhalimi. Disebabkan kondisi-kondisi itulah amarah diciptakan, ia diciptakan untuk suatu kebijaksanaan yang mendasar sebagai konsekuensi dari tabi’at makhluk dan memenuhi aturan masyarakat. Karena sesungguhnya berlomba-lomba dalam kehidupan dan persaingan ini dalam memenuhi kebutuhannya mengakibatkan adanya pembelaan yang kuat akan diri, agama, harta, kehormatan, dan hak-hak umum. Seandainya bukan karena hal itu, maka bumi ini akan hancur dengan merebaknya kekacauan dan meruntuhkan sistem-sistem kemasyarakatan. Oleh karena itu barangsiapa yang tidak marah karena dirinya maka ia akan menghadapi kematian di muka bumi ini, atau ia akan menghadapi hinaan orang lain dengan berbagai macam hinaan layaknya hewan yang tidak marah demi dirinya. Dan barangsiapa yang tidak marah karena agamanya, maka sesungguhnya tujuannya adalah taqlid yang begitu kuat pada setiap apa yang dilihat dan dianggapnya baik, lalu ia pun akan berpindah dari satu agama ke agama lain di sebabkan taqlid buta. Dan barangsiapa yang tidak marah demi kehormatannya, maka ia tidak merasa cemburu terhadap wanita-wanitanya (isterinya), akan bercampuraduknya keturunan (nasab), menyebarnya kekejian ditengah-tengah masyarakat, sehingga manusia akan menjadi seperti hewan yang menyetubuhi betinanya tanpa ada rasa cemburu dan memandang rendah akan hal itu.

Dan barangsiapa yang tidak marah demi hartanya, maka ia tidak akan selamat dari rampasan orang lain terhadap hartanya, sehingga ia menjadi miskin dan papa, dan apabila tindakan merampas harta telah menyebar maka akan lumpuhlah sistem pekerjaan, bahkan transaksi-transaksi ekonomi akan lumpuh total, pabrik-pabrik akan tutup, pertanian akan hancur, dan manusia akan bersandar pada harta rampasan orang lain. Hal itu adalah suatu keburukan dan bencana dalam waktu dekat maupun waktu yang akan datang.

Dan barangsiapa yang tidak cemburu akan hak-hak umum dan menolong orang yang dizhalimi maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari tabi’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia di atasnya.

Dalam hal yang sama, Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang dibuat marah namun ia tidak marah, maka ia adalah keledai.” Yaitu mempunyai tabi’at yang dungu, dan rasa malunya hilang, dalam hal ini Imam asy-Syafi’i mengisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”[Al-Baqarah/2: 251]

2. Tingkatan melalaikan, yaitu amarah yang berada di bawah batas kewajaran dengan melemahnya amarah tersebut pada diri manusia, atau hilang sama sekali darinya. Kondisi seperti ini sangatlah terhina secara akal maupun agama, karena barangsiapa yang tidak marah demi dirinya, agama, kehormatan, harta, atau kemaslahatan umum, maka dia adalah pengecut, dia tidak berjalan di atas ketetapan-ketetapan Allah terhadap makhluk-Nya. Dalam hal seperti ini terdapat bahaya besar yang mengancam masyarakat, karena akan menyebabkan kekacauan pada semua tatanan kehidupan seperti yang telah Anda ketahui.

3. Tingkatan yang berlebih-lebihan, yaitu amarah yang melampaui batas kewajaran, akal dan juga agama. Amarah itu berjalan dengan cepat di atas keburukan yang akhirnya akan mengakibatkan kehancuran dari arah yang tidak ia ketahui, dan mungkin saja amarahnya menyeret kepada suatu perkara yang pada akhirnya dia melakukan dosa besar dan menyebarnya berbagai kehancuran.

Merupakan hal yang sudah diketahui bahwa amarah dalam kondisi-kondisi seperti itu adalah tercela, baik secara akal maupun agama. Berbedanya tingkatan celaan terhadapnya sesuai dengan perbedaan kuat atau lemahnya akibat yang ditimbulkannya, setiap kali bahayanya lebih besar maka amarah tersebut akan lebih kuat dan celaan padanya pun akan lebih banyak lagi. Dikutip dari kitab Hidaayatul Mustarsyidiin.

[Disalin dari Kitab Mawaaqif Ghadhiba fiihan Nabiyyu Shallallahu Alaihi Wa Sallam Penulis Khumais as-Sa‘id, Judul dalam Bahasa Indonesia Pelajaran Penting Dari Marahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Sya’ban 1426 H – September 2005 M]


Sumber: https://almanhaj.or.id/4027-marah-dan-hakikatnya-dalam-islam.html

Jumat, 22 Juni 2018

LUNTURNYA RASA TEPO SELIRO ATAU TENGGANG RASA

Tepo seliro adalah sebuah nasehat Jawa yang berarti menenggang perasaan orang lain. Meski saya yakin, suku apa pun dan bangsa mana pun juga mengenal budi pekerti tersebut sebagai salah satu modal dasar berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.

Urusan tenggang rasa ini kelihatannya mudah dan sederhana. Apa susahnya sih menghargai perasaan orang lain sebagaimana kita pun ingin diperlakukan demikian? Tapi ternyata pada aplikasinya, urusan tepo seliro ini sering diabaikan oleh seseorang.

Pembahasan ini tentunya bisa memanjang, melebar dan meluas ke berbagai topik terkait tenggang rasa ini. Namun kali ini saya hanya ingin menyoroti hubungan dengan KELUARGA. Rumah tangga, atau keluarga adalah himpunan masyarakat terkecil dalam tatanan sebuah negara. Kumpulan keluarga yang memiliki tenggang rasa tinggi akan menghasilkan sebuah harmoni kehidupan bernegara, dimana ujung-ujungnya adalah terciptanya rasa nyaman dan kedamaian yang lebih luas.

Namun terkadang tidak bisa terelakkan bahwa ada beberapa keluarga yang melupakan sikap TEPO SELIRO tersebut dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan saudaranya. Jika masalah ini didiamkan terus menerus akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah keluarga.

Sebagian masalah tersebut kadang menjadi sekadar ‘keluhan dalam hati" tanpa penyelesaian dan sebagiannya memilih menyelesaikan, dengan memberi teguran ataupun luapan amarah. Muaranya adalah terjadi keributan hingga hilangnya rasa nyaman berada di dalam rumah sendiri.

Kembali ke soal tenggang rasa itu, ternyata faktor tingginya pendidikan juga tidak menihilkan potensi seseorang untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Meski di atas kertas, seharusnya tingginya tingkat pendidikan harus sejalan dengan tingginya budi pekerti. Ibarat padi berisi yang kian merunduk. Entahlah, apakah ini ada kaitannya dengan hasil pendidikan kita yang belum maksimal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan? Ataukah materi pendidian budi pekerti dan tenggang rasa perlu menjadi satu mata pelajaran utama di bangku-bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi?

Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya. Sebagaimana pepatah Jawa lain mengajarkan ; ajining diri dumunung soko lathi – tingginya martabat seseorang tergantung ( berasal ) dari tingkah laku kesehariannya sendiri.

Maka dari itu setiap kita sebagai orang tua harus benar-benar memberi perhatian khusus dalam rangka mengajarkan tepo seliro/tenggang rasa ini dalam bentuk pemahaman maupun keteladanan bagi anak-anaknya sedari dini.  Ya, karena setiap keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak bangsa.

Semoga bermanfaat.
Salam.

Kompasiana.com