Penerjemah

Cari

Jumat, 22 Juni 2018

LUNTURNYA RASA TEPO SELIRO ATAU TENGGANG RASA

Tepo seliro adalah sebuah nasehat Jawa yang berarti menenggang perasaan orang lain. Meski saya yakin, suku apa pun dan bangsa mana pun juga mengenal budi pekerti tersebut sebagai salah satu modal dasar berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.

Urusan tenggang rasa ini kelihatannya mudah dan sederhana. Apa susahnya sih menghargai perasaan orang lain sebagaimana kita pun ingin diperlakukan demikian? Tapi ternyata pada aplikasinya, urusan tepo seliro ini sering diabaikan oleh seseorang.

Pembahasan ini tentunya bisa memanjang, melebar dan meluas ke berbagai topik terkait tenggang rasa ini. Namun kali ini saya hanya ingin menyoroti hubungan dengan KELUARGA. Rumah tangga, atau keluarga adalah himpunan masyarakat terkecil dalam tatanan sebuah negara. Kumpulan keluarga yang memiliki tenggang rasa tinggi akan menghasilkan sebuah harmoni kehidupan bernegara, dimana ujung-ujungnya adalah terciptanya rasa nyaman dan kedamaian yang lebih luas.

Namun terkadang tidak bisa terelakkan bahwa ada beberapa keluarga yang melupakan sikap TEPO SELIRO tersebut dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan saudaranya. Jika masalah ini didiamkan terus menerus akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah keluarga.

Sebagian masalah tersebut kadang menjadi sekadar ‘keluhan dalam hati" tanpa penyelesaian dan sebagiannya memilih menyelesaikan, dengan memberi teguran ataupun luapan amarah. Muaranya adalah terjadi keributan hingga hilangnya rasa nyaman berada di dalam rumah sendiri.

Kembali ke soal tenggang rasa itu, ternyata faktor tingginya pendidikan juga tidak menihilkan potensi seseorang untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Meski di atas kertas, seharusnya tingginya tingkat pendidikan harus sejalan dengan tingginya budi pekerti. Ibarat padi berisi yang kian merunduk. Entahlah, apakah ini ada kaitannya dengan hasil pendidikan kita yang belum maksimal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan? Ataukah materi pendidian budi pekerti dan tenggang rasa perlu menjadi satu mata pelajaran utama di bangku-bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi?

Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya. Sebagaimana pepatah Jawa lain mengajarkan ; ajining diri dumunung soko lathi – tingginya martabat seseorang tergantung ( berasal ) dari tingkah laku kesehariannya sendiri.

Maka dari itu setiap kita sebagai orang tua harus benar-benar memberi perhatian khusus dalam rangka mengajarkan tepo seliro/tenggang rasa ini dalam bentuk pemahaman maupun keteladanan bagi anak-anaknya sedari dini.  Ya, karena setiap keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak bangsa.

Semoga bermanfaat.
Salam.

Kompasiana.com

Kamis, 21 Juni 2018

HAK ANAK; ORANG TUA WAJIB BERLAKU ADIL KEPADA ANAK


Yang dimaksud dengan anak dalam pembahasan ini mencakup anak lelaki dan wanita. Hak anak sangatlah banyak. Yang terpenting adalah tarbiyah (memberikan pendidikan), yaitu mengembangkan agama dan akhlak mereka sehingga hal itu menjadi bagian terbesar dalam kehidupan mereka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluarga kalian dari api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6).

Salah satu hak anak adalah tidak mengistimewakan salah satu di antara mereka dibandingkan saudaranya yang lain, dalam hal pemberian dan hibah. Tidak boleh memberikan sesuatu kepada salah seorang anaknya sedangkan dia tidak memberikan kepada anaknya yang lain dan tidak baik juga membebankan suatu pekerjaan rumah tangga sedangkan anak yang lain tidak. Hal tersebut termasuk perbuatan curang dan zalim, padahal Allah Ta’ala tidak mencintai orang-orang yang zalim. Perbuatan semacam itu akan menyebabkan kekecewaan anak yang tidak diberi dan menimbulkan permusuhan di antara mereka, bahkan terkadang permusuhan terjadi antara anak yang tidak diberi dengan orang tua mereka.

Di dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), terdapat riwayat dari Nu’man bin Basyir, bahwa bapaknya (yakni Basyir bin Sa’ad) telah memberikan kepadanya seorang budak sahaya. Kemudian ia memberitahukan itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Basyir, “Apakah seluruh anakmu engkau berikan sama seperti ini?”

Dia menjawab, “Tidak.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalikanlah!”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

“Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikaplah adil kepada anak-anak kalian.”

Dalam lafal lain disebutkan, “Carilah saksi orang lain, karena aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan curang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut sikap melebihkan salah satu anak dalam hal pemberian dengan istilah “perbuatan curang”. Perbuatan curang adalah kezaliman dan hukumnya haram.

Artikel ini berdasarkan beberapa kejadian yang ada, dimana keadilan hak bagi anak terlupakan. Orang tua menganggap itu hal yang biasa namun bagi si anak itu hal yang tidak menyenangkan. Tentu orang tua yang baik tidak bermaksud untuk tidak adil namun memang kadang orang tua pun khilaf tidak sengaja melakukan hal yang membuat anak merasa dinomor-duakan. Adil memang tidak harus sama rata, namun kadang adil memang harus sama rata.

Sebagai bahan renungan.
Semoga bermanfaat untuk keluarga kita semua.

Disarikan dari buku “10 Hak dalam Islam” (terjemahan), karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerbit Pustaka Al-Minhaj.

Artikel Muslimah.Or.Id