Penerjemah

Cari

Selasa, 28 Agustus 2018

Antara 1 Teladan dan 1000 Nasihat

Dunia anak memang tidak ada habisnya untuk dibahas. Selalu ada saja kisah unik dan menarik tuk dikupas. Banyak diantara para orang tua yang menuntut sang buah hati agar nurut dan selayaknya “orang dewasa” yang tau mana yang baik dan buruk. Namanya juga anak [red:maklum]. Kita mungkin sering melupakan bahwa apa yang anak lihat dari figure orang tuanya, maka itu yang akan ia tiru. Atau singkat kata perilaku anak adalah cerminan dari perilaku orang tua.  Benar kata pepatah, 1 teladan lebih baik dari 1000 nasihat.



Orang tua yang banyak “suaranya” berharap si anak takut dan respect, justru akan berbanding terbalik karna anak akan semakin bandel dan kebal dengan suara nada2 tinggi dan menjadikan anak susah  untuk dinasihati.

Orang tua yang gemar main tangan ketika anaknya nakal, menjadikan si anak akan ringan tangan ketika ia merasa terancam dan dengan mudahnya tangan mendarat ke pipi ataupun bagian tubuh temannya. Sehingga hal ini menjadikan anak mudah ringan tangan dan endingnya akan dijauhi teman2nya. Karna ga’ada satupun orang tua temannya yang mengijinkan anak mereka bermain dengan yang bersangkutan.

Teringat sebuah kisah dimasa silam tentang teladan2 yang diberikan oleh sang ibu. Ntah disadari atau tidak, Ibu mengajarkan kepada anaknya bagaimana caranya berbagi. Berbagi sesuai dengan kemampuannya. Ketika di rumah terdapat makanan berlebih sang ibu menyuruh sang anak untuk memberi tetangga sebelah rumah, dan itu terjadi tidak hanya sekali dua kali. Ketika teman anak2 ibu bermain ke rumah, tak segan ibu menyuruh mereka untuk makan bersama dengan lauk seadanya. Dan itu terjadi tidak hanya dengan satu atau dua orang teman anaknya. Diperjalanan hidup anaknya, ia akan menjadi anak yang peka terhadap lingkungan dan tidak pelit.

Ketika orang tua ramah atau gapyak dengan orang yang ia temui, si anak akan meniru, dan ramah terhadap orang lain. karakter tersebut mendarah daging di tubuhnya, sehingga ramah sudah melekat dalam tradisi keluarga tersebut. Ketika orang tua gemati dengan orang lain, si anak-pun akan begitu. Ia akan mudah mencintai dengan tulus kepada orang di sekelilingnya.

Jadi, sekarang tugas kita, memilih sikap apa yang akan kita ambil supaya sang buah hati berperilaku baik dalam arti sesungguhnya. Karena 1 teladan orang tua sungguh jitu dibanding dengan 1000 nasihat. Dan itu  benar adanya. Tanpa banyak teori2 memusingkan si buah hati dengan mudahnya mencontoh perilaku yang orang tuanya lakukan. Singkat kata, jika kita menginginkan buah hati berperilaku baik, selayaknya kita mencontohkannya terlebih dahulu untuk menjadi baik dalam arti sesungguhnya., karna perilaku anak adalah cerminan dari perilaku orang tuanya. And let’s try at u’r home..




#salam jiwa berbahagia..

https://www.kompasiana.com/anapujiastuti/54f84c33a33311f67d8b45e3/antara-1-teladan-dan-1000-nasihat

Senin, 27 Agustus 2018

SUAMI ISTRI PEDAGANG ROTI YANG ISTIMEWA



Dari kejauhan, sepasang suami istri menjajakan dagangannya berkeliling di sekitaran UNY. Saya dekati beliau berdua, ternyata berjualan roti Rp 1.500 an. Teringat saya pernah melihat beliau berdua disebuah  postingan grup regional jogja. Sekedar membeli roti beberapa, saya mengobrol menjalin silaturahmi. Ibu bernama Erna dan suami bernama Parjan. Ibu Erna dan Bapak Parjan memiliki keistimewaan yang tidak kita miliki yaitu Tuna Daksa dan Tuna Netra tapi juga memiliki semangat yang luar biasa.
Jika kita bertemu dengan beliau berdua, atau bertemu dengan penjual keliling lainnya silakan beli dagangannya beberapa. Bukan karena kasihan atau iba, namun sebuah apresiasi tinggi untuk kegigihannya dalam berniaga. Tidak akan berkurang harta ketika berbagi kepada sesama.  Salam.

Selasa, 14 Agustus 2018

BANGSA PENGHUJAT


Mudah-mudahan cukup sekali ini bicara politik, karena makin lama makin jengah buka time line di social media ini.

Saya sih yakin, siapapun Presiden di Indonesia akan tetap dihujat oleh rakyatnya sendiri.

Mau bukti?

Soekarno awalnya disanjung sebagai Proklamator dan Founding Father Indonesia. Tapi lihatlah kemudian beliau habis-habisan dihujat sampai akhirnya wafat dalam keprihatinan.

.
Soeharto juga demikian. Dikenal sebagai Bapak Pembangunan dengan REPELITA dan GBHN yang tersusun rapi untuk Indonesia siap tinggal landas menjadi negara maju. Namun akhirnya dihujat karena KKN yg merajalela. Semua tiba-tiba amnesia dengan segala pencapaian yg beliau buat selama 32 tahun memimpin negeri. 

.
Lalu bagaimana dengan BJ Habibie? Pencapaian terbesarnya adalah mengembalikan kurs yg saat itu mencapai Rp15.000 - Rp16.000 ke Rp7.000 akibat krisis moneter. Namun beliau punya kesalahan fatal yang menyebabkan Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Beliau juga habis dihujat pada saat itu. Laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR dan harus lengser. 
Alhamdulillah, sekarang banyak millenial yg kembali memujanya dan terbuai drama percintaannya yang tayang di layar bioskop Indonesia.

.
Sekarang lihatlah Gus Dur. Seorang Ulama Besar, seorang Guru Bangsa, seorang visioner yang mengedepankan keberagaman dalam berbangsa. Namun akhirnya dilengserkan oleh intrik politik sejak pernyataan-pernyataannya yg kontroversial soal DPR yang seperti Taman Kanak-Kanak. Semoga sekarang bangsa ini melihat faktanya.

.
Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh Megawati. Memang tidak banyak pencapaian saat itu, karena negara ini kembali diguncang oleh pertikaian politik. Akhirnya beliau gagal kembali terpilih akibat banyaknya issue seputar penjualan asset negara. Beliau banyak dihujat soal itu sampai sekarang.

.
Bagaimana dengan pemerintahan di masa SBY? Harus jujur diakui, dibawah kepemimpinan SBY negara ini sedikit kembali ke kestabilan politik. Ekonomi bertumbuh. IHSG terus mencatat rekor pencapaian tertinggi. Namun di periode ke dua pemerintahannya mulai terbongkar praktek-praktek korupsi para kader Partainya. Beliau juga dihujat habis-habisan setelah itu. Kasus Korupsi Hambalang telah menyeret banyak petinggi Partai dan Pejabat negeri ini ke balik jeruji penjara.

.
Bagaimana dengan Presiden Jokowi sekarang? Kita bisa menyaksikan sendiri, hujatan tiada henti bahkan sejak awal pencalonannya sebagai Presiden RI di thn 2014.

Hoax, hasutan, fitnah seakan tidak ada habisnya diarahkan ke beliau. Memang di masa pemerintahannya ada beberapa kebijakan tidak populer yang mengguncang kehidupan masyarakat. Namun haruskah kita menafikan pembangunan yang kembali giat dilaksanakan setelah pemerintahan SBY berjuang menjaga kestabilan politik dan ekonomi?

.
.
Haruskah kita menghujat kebijakannya yang memberikan perhatian dan porsi pembangunan yang lebih besar kepada masyarakat di luar pulau Jawa?

Mengapa kita tidak belajar untuk menghargai hasil kerja para pemimpin kita? Yakinlah, TIDAK ADA PEMIMPIN NEGERI INI YANG INGIN NAMANYA BURUK selama masa pemerintahannya. SEMUA PEMIMPIN INGIN MEMBERIKAN YANG TERBAIK UTK NEGERI INI. Semuanya pasti berusaha menorehkan tinta emas di dalam catatan sejarah bangsa ini. CATAT ITU.

Maka, salahkanlah para politisi yang terus menggoreng issue utk menarik simpati atau menyudutkan lawan politiknya. Salahkanlah mereka yang hanya berkoar-koar tanpa berbuat sesuatu yang berarti utk bangsa ini.

.
Lalu, buat apa kita ikut tenggelam dalam debat-debat tak penting karena berbeda pandangan politik. Yang untung itu hanya politisi yang kamu idolakan. Sedangkan kamu, bisa jadi kehilangan simpati orang-orang yang pernah dekat denganmu.

Biarkanlah pemerintah sekarang bekerja dengan tenang. Hargai apa yg mereka usahakan. Jika hasilnya tidak sesuai harapanmu, maka manfaatkan senjata terakhirmu, yaitu suaramu di Pemilu yang akan datang.

Gak perlu mengumbar kemarahanmu ke orang-orang, apalagi di social media.

.
Ayolah... Berhentilah berdebat.

Sampai kapan kita mau jadi bangsa penghujat?

Sumber FB Eri Rahman.

Sabtu, 07 Juli 2018

AMARAH; DIPERBOLEHKAN & DILARANG.



Amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:

1. Tingkatan kewajaran, yaitu amarah yang ditujukan untuk membela diri, agama, kehormatan, harta, membela hak-hak yang umum dan menolong orang yang dizhalimi. Disebabkan kondisi-kondisi itulah amarah diciptakan, ia diciptakan untuk suatu kebijaksanaan yang mendasar sebagai konsekuensi dari tabi’at makhluk dan memenuhi aturan masyarakat. Karena sesungguhnya berlomba-lomba dalam kehidupan dan persaingan ini dalam memenuhi kebutuhannya mengakibatkan adanya pembelaan yang kuat akan diri, agama, harta, kehormatan, dan hak-hak umum. Seandainya bukan karena hal itu, maka bumi ini akan hancur dengan merebaknya kekacauan dan meruntuhkan sistem-sistem kemasyarakatan. Oleh karena itu barangsiapa yang tidak marah karena dirinya maka ia akan menghadapi kematian di muka bumi ini, atau ia akan menghadapi hinaan orang lain dengan berbagai macam hinaan layaknya hewan yang tidak marah demi dirinya. Dan barangsiapa yang tidak marah karena agamanya, maka sesungguhnya tujuannya adalah taqlid yang begitu kuat pada setiap apa yang dilihat dan dianggapnya baik, lalu ia pun akan berpindah dari satu agama ke agama lain di sebabkan taqlid buta. Dan barangsiapa yang tidak marah demi kehormatannya, maka ia tidak merasa cemburu terhadap wanita-wanitanya (isterinya), akan bercampuraduknya keturunan (nasab), menyebarnya kekejian ditengah-tengah masyarakat, sehingga manusia akan menjadi seperti hewan yang menyetubuhi betinanya tanpa ada rasa cemburu dan memandang rendah akan hal itu.

Dan barangsiapa yang tidak marah demi hartanya, maka ia tidak akan selamat dari rampasan orang lain terhadap hartanya, sehingga ia menjadi miskin dan papa, dan apabila tindakan merampas harta telah menyebar maka akan lumpuhlah sistem pekerjaan, bahkan transaksi-transaksi ekonomi akan lumpuh total, pabrik-pabrik akan tutup, pertanian akan hancur, dan manusia akan bersandar pada harta rampasan orang lain. Hal itu adalah suatu keburukan dan bencana dalam waktu dekat maupun waktu yang akan datang.

Dan barangsiapa yang tidak cemburu akan hak-hak umum dan menolong orang yang dizhalimi maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari tabi’at yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia di atasnya.

Dalam hal yang sama, Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang dibuat marah namun ia tidak marah, maka ia adalah keledai.” Yaitu mempunyai tabi’at yang dungu, dan rasa malunya hilang, dalam hal ini Imam asy-Syafi’i mengisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”[Al-Baqarah/2: 251]

2. Tingkatan melalaikan, yaitu amarah yang berada di bawah batas kewajaran dengan melemahnya amarah tersebut pada diri manusia, atau hilang sama sekali darinya. Kondisi seperti ini sangatlah terhina secara akal maupun agama, karena barangsiapa yang tidak marah demi dirinya, agama, kehormatan, harta, atau kemaslahatan umum, maka dia adalah pengecut, dia tidak berjalan di atas ketetapan-ketetapan Allah terhadap makhluk-Nya. Dalam hal seperti ini terdapat bahaya besar yang mengancam masyarakat, karena akan menyebabkan kekacauan pada semua tatanan kehidupan seperti yang telah Anda ketahui.

3. Tingkatan yang berlebih-lebihan, yaitu amarah yang melampaui batas kewajaran, akal dan juga agama. Amarah itu berjalan dengan cepat di atas keburukan yang akhirnya akan mengakibatkan kehancuran dari arah yang tidak ia ketahui, dan mungkin saja amarahnya menyeret kepada suatu perkara yang pada akhirnya dia melakukan dosa besar dan menyebarnya berbagai kehancuran.

Merupakan hal yang sudah diketahui bahwa amarah dalam kondisi-kondisi seperti itu adalah tercela, baik secara akal maupun agama. Berbedanya tingkatan celaan terhadapnya sesuai dengan perbedaan kuat atau lemahnya akibat yang ditimbulkannya, setiap kali bahayanya lebih besar maka amarah tersebut akan lebih kuat dan celaan padanya pun akan lebih banyak lagi. Dikutip dari kitab Hidaayatul Mustarsyidiin.

[Disalin dari Kitab Mawaaqif Ghadhiba fiihan Nabiyyu Shallallahu Alaihi Wa Sallam Penulis Khumais as-Sa‘id, Judul dalam Bahasa Indonesia Pelajaran Penting Dari Marahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Sya’ban 1426 H – September 2005 M]


Sumber: https://almanhaj.or.id/4027-marah-dan-hakikatnya-dalam-islam.html

Jumat, 22 Juni 2018

LUNTURNYA RASA TEPO SELIRO ATAU TENGGANG RASA

Tepo seliro adalah sebuah nasehat Jawa yang berarti menenggang perasaan orang lain. Meski saya yakin, suku apa pun dan bangsa mana pun juga mengenal budi pekerti tersebut sebagai salah satu modal dasar berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.

Urusan tenggang rasa ini kelihatannya mudah dan sederhana. Apa susahnya sih menghargai perasaan orang lain sebagaimana kita pun ingin diperlakukan demikian? Tapi ternyata pada aplikasinya, urusan tepo seliro ini sering diabaikan oleh seseorang.

Pembahasan ini tentunya bisa memanjang, melebar dan meluas ke berbagai topik terkait tenggang rasa ini. Namun kali ini saya hanya ingin menyoroti hubungan dengan KELUARGA. Rumah tangga, atau keluarga adalah himpunan masyarakat terkecil dalam tatanan sebuah negara. Kumpulan keluarga yang memiliki tenggang rasa tinggi akan menghasilkan sebuah harmoni kehidupan bernegara, dimana ujung-ujungnya adalah terciptanya rasa nyaman dan kedamaian yang lebih luas.

Namun terkadang tidak bisa terelakkan bahwa ada beberapa keluarga yang melupakan sikap TEPO SELIRO tersebut dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan saudaranya. Jika masalah ini didiamkan terus menerus akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman antara satu dengan yang lainnya dalam sebuah keluarga.

Sebagian masalah tersebut kadang menjadi sekadar ‘keluhan dalam hati" tanpa penyelesaian dan sebagiannya memilih menyelesaikan, dengan memberi teguran ataupun luapan amarah. Muaranya adalah terjadi keributan hingga hilangnya rasa nyaman berada di dalam rumah sendiri.

Kembali ke soal tenggang rasa itu, ternyata faktor tingginya pendidikan juga tidak menihilkan potensi seseorang untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Meski di atas kertas, seharusnya tingginya tingkat pendidikan harus sejalan dengan tingginya budi pekerti. Ibarat padi berisi yang kian merunduk. Entahlah, apakah ini ada kaitannya dengan hasil pendidikan kita yang belum maksimal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan? Ataukah materi pendidian budi pekerti dan tenggang rasa perlu menjadi satu mata pelajaran utama di bangku-bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi?

Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya. Sebagaimana pepatah Jawa lain mengajarkan ; ajining diri dumunung soko lathi – tingginya martabat seseorang tergantung ( berasal ) dari tingkah laku kesehariannya sendiri.

Maka dari itu setiap kita sebagai orang tua harus benar-benar memberi perhatian khusus dalam rangka mengajarkan tepo seliro/tenggang rasa ini dalam bentuk pemahaman maupun keteladanan bagi anak-anaknya sedari dini.  Ya, karena setiap keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak bangsa.

Semoga bermanfaat.
Salam.

Kompasiana.com

Kamis, 21 Juni 2018

HAK ANAK; ORANG TUA WAJIB BERLAKU ADIL KEPADA ANAK


Yang dimaksud dengan anak dalam pembahasan ini mencakup anak lelaki dan wanita. Hak anak sangatlah banyak. Yang terpenting adalah tarbiyah (memberikan pendidikan), yaitu mengembangkan agama dan akhlak mereka sehingga hal itu menjadi bagian terbesar dalam kehidupan mereka. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluarga kalian dari api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6).

Salah satu hak anak adalah tidak mengistimewakan salah satu di antara mereka dibandingkan saudaranya yang lain, dalam hal pemberian dan hibah. Tidak boleh memberikan sesuatu kepada salah seorang anaknya sedangkan dia tidak memberikan kepada anaknya yang lain dan tidak baik juga membebankan suatu pekerjaan rumah tangga sedangkan anak yang lain tidak. Hal tersebut termasuk perbuatan curang dan zalim, padahal Allah Ta’ala tidak mencintai orang-orang yang zalim. Perbuatan semacam itu akan menyebabkan kekecewaan anak yang tidak diberi dan menimbulkan permusuhan di antara mereka, bahkan terkadang permusuhan terjadi antara anak yang tidak diberi dengan orang tua mereka.

Di dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), terdapat riwayat dari Nu’man bin Basyir, bahwa bapaknya (yakni Basyir bin Sa’ad) telah memberikan kepadanya seorang budak sahaya. Kemudian ia memberitahukan itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Basyir, “Apakah seluruh anakmu engkau berikan sama seperti ini?”

Dia menjawab, “Tidak.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalikanlah!”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

“Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikaplah adil kepada anak-anak kalian.”

Dalam lafal lain disebutkan, “Carilah saksi orang lain, karena aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan curang.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut sikap melebihkan salah satu anak dalam hal pemberian dengan istilah “perbuatan curang”. Perbuatan curang adalah kezaliman dan hukumnya haram.

Artikel ini berdasarkan beberapa kejadian yang ada, dimana keadilan hak bagi anak terlupakan. Orang tua menganggap itu hal yang biasa namun bagi si anak itu hal yang tidak menyenangkan. Tentu orang tua yang baik tidak bermaksud untuk tidak adil namun memang kadang orang tua pun khilaf tidak sengaja melakukan hal yang membuat anak merasa dinomor-duakan. Adil memang tidak harus sama rata, namun kadang adil memang harus sama rata.

Sebagai bahan renungan.
Semoga bermanfaat untuk keluarga kita semua.

Disarikan dari buku “10 Hak dalam Islam” (terjemahan), karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerbit Pustaka Al-Minhaj.

Artikel Muslimah.Or.Id