Penerjemah

Cari

Selasa, 05 November 2019

Kisah Seorang Anak Laki-Laki dan Ayahnya.

Seorang Anak, menelpon Ayahnya yang tinggal pisah rumah dengan ibunya.
Pagi itu, Ibunya sakit dan tidak bisa mengantar Anaknya sekolah seperti biasanya.
Jarak sekolah 1 KM dari rumahnya, dan si Anak bertubuh lemah. 
Pagi itu jam 06.00 si Anak menelpon Ayahnya :

Anak : "Ayah, antarkan aku sekolah."

Ayah : "Ibumu kemana?"

Anak : "Ibu sakit Ayah, tidak bisa mengantarkanku ke sekolah, kali ini Ayahlah antarkan Aku ke sekolah."

Ayah : "Ayah tidak bisa, Ayah nanti terlambat ke kantor, kamu naik angkot saja atau ojek."

Anak : "Ayah, uang Ibu hanya tinggal 10 ribu, Ibu sakit, kami pun belum makan pagi, tak ada apa-apa di rumah, kalau Aku pakai untuk ongkos, kasihan Ibu belum makan, juga Adik-adik nanti makan apa Ayah?"

Ayah : "Ya sudah kamu jalan kaki saja ke sekolah, Ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu Anak laki-laki harus kuat."

Anak : "Ya sudah, terimakasih Ayah."

Si Anak mengakhiri telpon dengan Ayahnya.
Dihapusnya air mata di sudut matanya. Lalu berbalik masuk kamar, ketika Ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.

Ibu : "Apa kata Ayahmu, Nak?"

Anak : "Kata Ayah, iya Ibu. Ayah kali ini yang antar Aku ke sekolah."

Ibu : "Baguslah, Nak. Sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan Ibu lekas sembuh ya, biar besok Ibu bisa antar kau ke sekolah."

Anak : "Iya Ibu, Ibu tenang saja, Ayah yang antar, Ayah bilang Aku tunggu di depan Gang supaya cepat Ibu."

Ibu : "Berangkatlah, Nak! Belajar yang rajin, yang semangat."

Anak : "Iya Ibu."

Tahun berganti tahun. Kenangan itu tertanam dalam ingatan si Anak.

Dia sekolah sampai pasca sarjana dengan biaya beasiswa. Setelah lulus, dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar.
Dengan penghasilanya, dia membiayai hidup Ibunya, membantu menyekolahkan adik-adiknya sampai sarjana.

Satu hari, saat di kantor Ayahnya bertelpon.

Anak : "Ada apa Ayah?"

Ayah : "Nak, Ayah sakit. Tidak ada yang mengantarkan Ayah ke rumah sakit."

Anak : "Emang istri Ayah kemana?"

Ayah : "Sudah pergi Nak, sejak Ayah sakit-sakitan."

Anak : "Ayah, Aku sedang kerja. Ayah ke rumah sakit naik taxi saja."

Ayah : "Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan urus pendaftaran RS dan lainya. Apa supir taxi? Kamu Anak Ayah, masa Ayah sakit, kamu tidak mau bantu mengurus?"

Anak : "Ayah, bukankah Ayah yang mengajarkan Aku mengurus diri sendiri? Bukankah Ayah yang mengajarkan Aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada Istri sakit dan Anak? 
Ayah, Aku masih ingat, satu pagi Aku menelpon Ayah minta antarkan ke sekolahku, waktu itu Ibu sakit, Ibu yang selalu antarkan kami anak-anaknya. Yang mengurus kami seorang diri, namun Ayah katakan Aku pergi jalan kaki. 
Tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun Ayah katakan Anak laki-laki harus kuat. Dan Ayah katakan Ayah pun dulu berjalan kaki ke sekolah, maka Aku belajar bahwa karena Ayah lakukan demikian maka Aku pun harus lakukan yang sama. Saat Aku sakit pun hanya Ibu yang ada mengurusku, saat Aku membutuhkan Ayah. 
Aku ingat kata-kata Ayah, Anak laki-laki harus kuat.
Ayah tahu? 
Hari itu pertama kali Aku berbohong kepada Ibu, Aku katakan iya Ayah yang akan antarkanku ke sekolah, dan meminta Aku menunggu di depan Gang.
Tapi Ayah tahu?
Aku jalan kaki seperti yang Ayah suruh, di tengah jalan Ibu menyusul dengan sepeda, Ibu bisa tahu Aku berbohong. 
Dengan tubuh sakitnya Ibu mengayuh sepeda mengantarkan Aku ke sekolah.
Ayah mengajarkanku, pekerjaan adalah yang utama, Ayah mengajarkan Aku kalau Ayah bisa maka walaupun tubuhku lemah Aku harus bisa. 
Kalau Ayah bisa ajarkan itu, maka Ayah pun harus bisa."

Si Ayah terdiam. Sepi di seberang telpon.

Baru disadarinya, betapa dalam luka yang ditorehkannya di hati Anaknya.

Anak adalah didikan orang tua, 
Bagaimana kita bersikap, memperlakukan mereka kita sama saja sedang mengajarkan mereka bagaimana memperlakukan kita kelak ketika tua dan renta.

Si Anak dosa?
Mungkin...
Si Anak durhaka?
Barangkali...
Yang jelas Ayahnya yang membuat Anaknya demikian.

Dan kelak orang tua membuat pertanggungjawabannya masing-masing kepada Sang Khaliq, Yang Punya Anugerah yang dititipkan kepada masing-masing.
Menjadi orang tua bukan karena menanam benih atau karena melahirkan.
Menjadi orang tua, karena mengasuh, mendidik, menyayangi, memberi waktu, perhatian, mengayomi, mencurahkan perhatian dan kasih sayang. 
Menjadi orang tua tidak ada kata pensiun.
Finishnya hanya kematian.

Silahkan share jika dirasa bermanfaat.
SC Timeline FB


Rabu, 30 Oktober 2019

Pemuda yang Terkenal di Langit.



Tidak banyak yang tahu kemuliaan Uwais Al-Qarni. Seorang pemuda miskin asal Yaman yang tidak dikenal di bumi, namun terkenal di langit. Ia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.

Uwais Al-Qarni sangat dicintai Rasulullah SAW dan penghuni langit. Dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim: “Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah padanya untuk meminta ampun untuk kalian,” demikian sabda Nabi kepada Umar bin Khattab.

Uwais Al-Qarni berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang. Meskipun cacat, ia adalah pemuda yang saleh dan sangat berbakti kepadanya ibunya. Ibunya adalah seorang perempuan tua lumpuh. Uwais tak pernah lelah merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.

"Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkan agar Ibu dapat mengerjakan haji," pinta Ibunya.

Uwais terkejut, perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Namun Uwais sangat miskin dan tak memiliki kendaraan.

Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seeokar anak lembu, Kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkinkan pergi Haji naik lembu. Subhanallah, ternyata Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi beliau bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. "Uwais gila.. Uwais gila..." kata orang-orang. Ya, kelakuan Uwais memang sungguh aneh.

Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.

Setelah 8 bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 Kg, begitu juga dengan otot Uwais makin membesar. Ia menjadi kuat mengangkat barang. Tahulah sekarang orang-orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk menggendong Ibunya.

Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Mekkah. Alangkah besarnya cinta Uwais kepada ibunya. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.

Uwais berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka'bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata ketika melihat Baitullah. Di hadapan Ka'bah, ibu dan anak itu berdoa. "Ya Allah, ampuni semua dosa ibu," kata Uwais. "Bagaimana dengan dosamu?" tanya ibunya heran.

Uwais menjawab, "Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawaku ke surga."Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah Swt pun memberikan karunia-Nya, Uwais seketika itu juga disembuhkan dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih di tengkuknya.Hikmah dari disisakannya bulatan putih di tengkuk itu sebagai tanda bagi Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat utama Rasulullah SAW untuk mengenali Uwais.Umar dan Ali sengaja mencari Uwais di sekitar Ka'bah karena Rasullah SAW berpesan: "Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia mintalah doa untuk kamu berdua."

Kisah Pertemuan Umar dengan Uwais Al-Qarni
Dikutip dari Rumaysho, Usair bin Jabir berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.” Uwais menjawab, “Iya.”

Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?” Uwais pun menjawab, “Iya.”

Lalu Umar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”

Umar pun berkata, “Mintalah kepada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah. Umar kemudian bertanya kepada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.

“Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?” kata Umar. Uwais Al-Qarni menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”

Kata Imam Nawawi, Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.