Penerjemah

Cari

Senin, 09 September 2019

CARA MEMUTUS SIKLUS ANAK NAKAL



Saat ngopi bareng mas Dodik Mariyanto di teras belakang rumah, iseng-iseng saya buka obrolan dengan satu kalimat tanya:

"Mengapa anak baik biasanya semakin baik, dan anak nakal biasanya semakin nakal ya mas?"
Mas Dodik Mariyanto mengambil kertas dan spidol, kemudian membuat beberapa lingkaran-lingkaran.
"Wah suka banget, bakalan jadi obrolan berbobot nih", pikir saya ketika melihat kertas dan spidol di tangan mas Dodik.

Mas Dodik mulai menuliskan satu hadist:

*رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِد*ِ
_*“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua”*_

Artinya setiap anak yang baik, pasti membuat ridho orangtuanya, hal ini akan membuat Allah Ridho juga.

Tapi setiap anak nakal, pasti membuat orangtuanya murka, dan itu akan membuat Allah murka juga.

"Kamu pikirkan implikasi berikutnya dan cari literatur yang ada untuk membuat sebuah pola", tantang mas Dodik ke saya.
Waaah pak Dosen mulai menantang anak baik ya, suka saya.

Setelah membolak balik berbagai literatur yang ada, akhirnya saya menemukan satu tulisan menarik yang ditulis oleh kakak kelas mas Dodik, yaitu mas Dr. Agus Purwanto DSc. di sana beliau menuliskan bahwa anak nakal dan anak baik itu bergantung pada ridho dan murka orangtuanya.

Akhirnya kami berdua mengolahnya kembali, membuatnya menjadi siklus anak baik (lihat gambar siklus 1) dan siklus anak nakal ( lihat siklus 2)

Siklus Anak Baik ( siklus 1)
➡️ Anak Baik -> orangtua Ridho -> Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak makin baik.

Siklus Anak nakal ( siklus 2)
⛔ Anak Nakal -> orangtua murka -> Allah Murka -> keluarga tidak berkah -> tidak bahagia -> anak makin nakal.

Kalau tidak ada yang memutus siklus tersebut, maka akan terjadi pola anak baik akan semakin baik, anak nakal akan semakin nakal.

*Bagaimana cara memutus siklus Anak Nakal ?

▶️ ternyata kuncinya bukan pada anak melainkan pada ORANGTUANYA.
Anak Nakal -> *ORANGTUA RIDHO* ->Allah Ridho -> keluarga berkah -> bahagia -> anak jadi baik.

Berat? iya, maka nilai kemuliaannya sangat tinggi. *Bagaimana caranya kita sebagai orangtua/guru bisa ridho ketika anak kita nakal?*
ini kuncinya:
*َإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ“*

*Bila kalian memaafkannya...menemuinya dan melupakan kesalahannya...maka ketahuilah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 64:14).*

*Caranya* orangtua ridho adalah menerima anak tersebut, memaafkan dan mengajaknya dialog, rangkul dengan sepenuh hati, terakhir lupakan kesalahannya.

Kemudian sebagai pengingat selanjutnya, kami menguncinya dengan pesan dari Umar bin Khattab:

⭐Jika kalian melihat anakmu/anak didik mu berbuat baik, maka puji dan catatlah, apabila anakmu/anak didikmu berbuat buruk, tegur dan jangan pernah engkau mencatatnya.
(Umar Bin Khattab)

 saya dapat do'a seperti ini, artinya:

🌻"Ya Allah, aku bersaksi bahwa aku ridho kepada anakku (dg menyebutkan nama anak) dg ridho yang paripurna, ridho yg sempurna dan ridho yg paling komplit. Maka turunkanlah ya Allah keridhoan-Mu kepadanya demi ridhoku kepadanya.

🌾Tidak ada anak nakal, yang ada hanyalah anak belum tau.

🌹Tidak ada anak nakal, yang ada hanyalah orang tua yang tak sabar.

🌺 Tak ada anak nakal, yang ada hanyalah pendidik yang terburu-buru melihat hasil

Semoga bermanfa'at
Barakallahu fiikum...
silahkan share jika bermanfaat...

Tulisan ini ditulis oleh ibu septi peni wulandani founder institut ibu profesional, istri dari bapak Dodik Mariyanto 

Dan versi lengkapnya bisa dicek ke web komunitas ibuprofesional.com

#selfreminder #parenting #copas

Rabu, 26 Juni 2019

MENJADI PRIBADI RATA-RATA ITU TIDAKLAH HINA

Subuh ini saat turun di Stasiun Tawang, ada peristiwa sederhana tapi berkesan.

Sebelum kereta berhenti, aku sudah jalan ke pintu gerbong. Ada satu mbak di depanku, aku urutan kedua, jadi bisa melihat cukup jelas yang terjadi di muka pintu.

Seorang petugas menyiapkan tangga pijakan buat penumpang di pintu gerbong. Tapi gerbong berhenti dalam posisi ada tiang menghalang persis di tengah pintu keluar.

Kulihat petugas tadi berusaha memposisikan tangga supaya bisa sedekat mungkin dengan kaki penumpang. Terdengar "dung-dung" benturan tangga pijakan dan tiang ketika petugas itu memepetkan tangganya semepet mungkin ke mulut pintu.

Mbak di depanku melangkah hati-hati menginjak tangga di kiri mulut pintu. Tangga itu bergoyang. Gerbong kami ndilalah memang mandeg di ujung stasiun yang tanahnya tidak rata.

Aku giliran turun berikutnya. Saat kupijak, tangga itu bergoyang-goyang lagi. Petugas tadi masih berdiri di dekat tangga, mengamati.

Sebelum menjauh dari gerbong, sempat kulihat si petugas berjongkok. Dia memungut batu dari rel di bawah gerbong, lalu memasangnya sebagai ganjal tangga pijakan, supaya tidak goyang-goyang lagi.

Aku melangkah pergi, tapi benakku masih memikirkan petugas tadi.

Dia sebetulnya bisa saja taruh tangga pijakan asal-asalan di muka pintu lalu pergi. Yang penting kewajiban sudah gugur kan? Peduli amat tangganya goyang-goyang. Dia bisa saja tidak peduli. Tapi dia memilih untuk berusaha memposisikan tangga sebaik mungkin, berusaha membuatnya sestabil mungkin untuk dipijak. Dia melakukan tugasnya sepenuh hati, meski tak ada yang mengapresiasi!

Aku jadi terpikir ingin memotret petugas itu, semoga dia masih ada.

Aku menoleh. Kulihat dia sedang berjalan bergegas. Kunyalakan kamera HP. Dia sudah mulai menaiki tangga ke atap gerbong. Aku jepret.

Dia sudah di atap gerbong, berjalan menyusurinya. Aku penasaran. Aku berhenti sejenak mengamatinya, apa sih yang mau ia kerjakan di atap itu?

Ting-tong-teng-tung, sepertinya kereta sebentar lagi diberangkatkan ke tujuan akhir Surabaya Pasar Turi. Petugas itu masih di atap. Dia menarik gulungan ... oh, gulungan selang. Selang itu ia selipkan masuk di kotak besar, sepertinya sedang mengisi tandon air di kamar mandi gerbong.

Ingin kupotret lagi, tapi di kamera dia nyaris tak terlihat, karena latar langit yang masih gelap. Aku melanjutkan langkah ke rambu KELUAR diiringi ting-tong-teng-tung.

Petugas itu masih di benakku. Perannya tak semencolok masinis. Seragamnya tidak sekeren kondektur atau pramugara. Pekerjaannya luput dari perhatian kebanyakan penumpang.

Dalam sistem besar layanan kereta api, dia ibarat sekrup kecil. Namun ia sekrup kecil yang bekerja dengan hati, tanpa menunggu dipuji. Dan meski kita penumpang tak menyadari keberadaannya, yang ia kerjakan sebetulnya berguna.

Aku jadi teringat diskusi dengan kawan-kawan di grup Klub CMid Semarang kemarin. Topiknya soal individualisme, salah satu penyakit peradaban modern.

"Masyarakat individualistik mengkhotbahkan bahwa sang individu dan segala prestasinya itulah segala-galanya dan bahwa setiap orang bisa mendapatkan nasib istimewa. Komunitas tidak penting. Kelompok itu hanya bagi kaum rata-rata. Menjadi 'biasa-biasa saja' adalah kutukan. Hasilnya, sesuai statistik, kebanyakan dari kita akan berakhir sebagai pecundang menyedihkan.

Obat penawarnya adalah menghayati bahwa hidup biasa-biasa saja itu luar biasa – suatu penghargaan yang pantas terhadap kesenangan dan kepahlawanan tanpa tanda jasa sehari-hari."

Di tengah persaingan menjadi yang paling menonjol, perebutan bangku sekolah favorit, pameran prestasi di media sosial, sepertinya lebih sehat bagi jiwa kita untuk mengagumi kerja tulus orang seperti si petugas kereta api tadi.

Menjadi rata-rata itu tidak hina. Yang penting yang menjalani merasa dirinya dan kerjanya bermakna.



Sumber;
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10157416963734390&id=553789389